METRO (Lampost): Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sistem pemilu dinilai rapuh sehingga memungkinkan terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaan "hajat" demokrasi bangsa.
Mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menyampaikan hal itu pada silaturahmi dengan civitas academica Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma'arif Metro, Ahad 11-1). Acara yang juga dihadiri Ketua Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara) Zanuba Arifah Chofsoh (Yenny Wahid), itu juga dihadiri Wali Kota Metro Lukman Hakim, dan para pimpinan dan kader Nahdlatul Ulama (NU) Lampung.
Menurut guru bangsa yang akrab disapa Gus Dur itu, rapuhnya KPU dan sistem pemilu itu dimulai saat pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia, termasuk di Lampung, yang seluruh prosesnya diliputi kecurangan. Indikasinya antara lain banyaknya penduduk yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Bahkan, kalaupun sudah terdaftar, banyak yang tidak terundang saat pencoblosan. "Pada Pilkada Gubernur Jawa Timur, misalnya, dari 42 juta mata pilih hanya 15 juta yang diundang," kata cucu pendiri NU K.H Hasyim Asy'ari.
Sebab itu, dia memprediksi pemilihan legislatif maupun presiden tidak akan terlaksana tahun ini. Apalagi, meskipun genderang pemilu belum resmi ditabuh, sudah banyak pihak yang bermain lebih dahulu. Berbagai penjegalan, pendiskreditan, hingga penangkapan dilakukan penguasa terhadap sejumlah sosok yang ingin bertarung pada pemilihan presiden.
Gus Dur, yang mengaku dijegal Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, pun kemudian mengatakan bingung andai bisa menjadi calon presiden dan terpilih. Sebab, sebagai konsekuensi hal itu, dia harus menyusun pemerintahan dan membersihkannya dari sejumlah pejabat yang sebelumnya tidak prorakyat dan korup. "Ya, bagaimana? Masak saya harus tega dengan teman-teman yang begitu itu?" tanya dia.
Mantan Ketua PBNU itu juga mengaku tidak habis pikir dengan perilaku para tokoh yang selama ini selalau saja mencari-cari perbedaan daripada persamaan, dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Termasuk, sikap-sikap tokoh ormas dan orpol Islam yang beranggapan umat muslim harus berbeda dengan yang lain.
Padahal, kata Gus Dur, pada masa sebelum dan pascakemerdekaan, para tokoh muslim sudah selesai membahas masalah Islam dan kebangsaan. NU, salah satunya, pada Muktamar ke-35 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga tuntas membahas dan memutuskan bahwa membentuk negara Islam bukan kewajiban.
Keputusan itu menunjukkan watak NU sebagai wadah muslim Indonesia yang lebih memilih persatuan dan kesatuan. Islam pun juga mengamanatkan untuk terjadinya pluralisme, seperti diamanatkan pada pendahulu bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, semangat itu mulai pudar. Berbagai bentuk perbedaan selalu dipandangan sebagai sebuah ancaman, bahkan musuh. Sebab itu, setiap muncul komunitas yang berbeda selalu dilarang bahkan kemudian dibubarkan.
Watak persatuan kian banyak digantikan dengan watak primordial, mementingkan dan mengedepankan komunitas masing-masing.
Gus Dur berharap para penyelenggara pemerintahan dan kalangan pendidikan ikut membenahinya melalui jalur pendidikan. Pendidikan akan sangat menentukan masa depan bangsa. Jika pendidikan yang diberikan salah, akan lahir pula generasi-generasi yang salah.
Muslimat NU
Sementara itu, Wakil Wali Kota Metro Djohan berharap tidak ada intervensi partai politik dalam pengumpulan massa dan dukungan kepada salah satu calon di Muslimat NU. Dia mengatakan hal itu saat menghadiri silaturahmi Muslimat NU--salah satu sayap oposisi dari Nahdlatul Ulama (NU) di aula kelurahan Mulyojati, Minggu (11-1).
"Masyarakat dengan kultur berbagai suku daerah, serta ragam budaya, sudah selayaknya dalam pencitraan Kota Metro saat penyelenggaraan pemilu nantinya tidak terprovokasi ajakan-ajakan yang akan memperkeruh suasana," kata dia.--sumber lampung post--
No comments:
Post a Comment