Monday, November 3, 2008

Kumpulan Artikel Pemilu 2009

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai ”Bapak Studi Politik Indonesia Modern”.

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, ”politik aliran,” pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai ”demokrasi konstitusional” (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema ”The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia,” kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara ”jantan” mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI--sumber kompas.com--

---------------------------------------------------------------------------


Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam, 1955-2004

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.

Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).

Penciutan partai

Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).

Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning” Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.

Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.

Kebebasan kedua

Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.

Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.

Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan.(Litbang Kompas)

BAMBANG SETIAWAN

----------------------------------------------------------------

Sketsa Pemilu 2009
Melihat Pemilu dari Berbagai Sisi

Didik Supriyanto - detikNews

Jakarta - Pemilu Legislatif 2009 jatuh pada 9 April 2009, 154 hari lagi. Jadwal itu tak bisa digeser. Dimajukan tak mungkin, karena persiapan logisitik butuh waktu cukup; dimolorkan apalagi, karena bisa mengundur pelaksanaan Pemilu Presiden 2009. Jika pilpres mundur, presiden dan wakil presiden terpilih tak bisa dilantik pada 20 Oktober 2009. Padahal pada hari itu masa jabatan SBY-Kalla sudah habis.

Apa jadinya bila presiden dan wakil presiden lama sudah habis masa jabatan, sementra pejabat baru belum terpilih? Konstitusi tidak mengatur secara jelas mengenai hal ini, sehingga wajar saja banyak pihak khawatir, jika melihat KPU mengundurkan jadwal kegiatan pemilu yang direncanakan sendiri. Penetapan daftar pemilih tetap (DPT) diundur, demikian juga penetapan Daftar Calon Tetap (DCT). Sebelumnya KPU yang memundurkan jadwal pengumuman partai politik peserta pemilu.


Memang bukan hal yang gampang merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan pemilu di Indonesia. Di negeri ini pemilu melibatkan lebih dari 150 juta pemilih, yang pada satu hari H pemilihan harus memilih empat pejabat publik: anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Inilah pemilu terbesar di jagad.

Oleh karena itu mengikuti proses pemilu dan mengkritisinya setiap saat adalah penting. Tak apa para penyelenggara, peserta pemilu dan para calon anggota legislatif (caleg), merah kuping. Tapi itu semua kita lakukan agar perhelatan politik ini sukses: prosesnya sesuai aturan main, hasilnya (para calon terpilih) bisa bekerja maksimal nantinya. Intinya, kita semua punya kewajiban untuk menjaga integritas pemilu.

Pemilu sendiri bisa dilihat dari banyak sisi: sistem, aktor, tahapan, manajemen, pembiayaan, etika, penegakan hukum dll. Semua menunjukkan, bahwa pemilu adalah masalah teknis, bagaimana mengkonversi suara rakyat menjadi kursi.

Namun dalam melihat persoalan pemilu, kita tak boleh terjebak pada masalah teknis semata. Bagaimanapun pemilu sesungguhnya adalah instrumen demokrasi. Sebagai alat demokrasi, pemilu berusaha mendekati obsesi demokrasi: pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Kolom Sketsa Pemilu 2009 ini akan muncul setiap hari untuk melihat dan mengikuti proses pemilu dari berbagai sisi. Sekadar berpartisipasi untuk mensukseskan pemilu, sekaligus meneguhkan jalan demokrasi yang telah kita pilih. Kritik saran sangat diharapkan.

* Penulis adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja.

----------------------------------------------------------------

Sketsa Pemilu 2009

Kenapa Pilih Jalan Demokrasi?

Didik Supriyanto - detikNews

Jakarta - Banyak jalan menuju Roma, demikian juga banyak jalan menuju kesejahteraan bangsa. Demokrasi adalah salah satu jalan. Memang berliku, tapi terbukti paling sukses.

Demokrasi sebagai tatanan politik adalah model tepat untuk mengelola kehidupan kenegaraan. Memang demokrasi bukan satu-satunya model yang paling sempurna untuk mengatur peri kehidupan manusia. Namun sejarah menunjukkan bahwa demokrasi memiliki peluang paling kecil dalam menistakan kemanusiaan.

Tumbangnya rezim komunisme di Eropa Timur menambah daftar panjang keunggulan demokrasi atas rezim-rezim politik lain, sehingga kini dia dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini. Dalam risalah singkatnya tentang demokrasi, Robert Dhal (1998), mencatat beberapa kelebihan demokrasi dibandingkan dengan rezim politik yang lain.

Pertama, demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik. Kedua, demokrasi menjamin bagi warga negara sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis.

Ketiga, demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas sebagai warga negara daripada alternatif lain yang memungkinkan. Keempat, demokrasi membantu orang-orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka.

Kelima, hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri. Keenam, hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral.

Ketujuh, demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total daripada alternatif lain yang memungkinkan. Kedelapan, hanya pemerintah yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.

Kesembilan, negara-negara demokrasi perwakilan moderen tidak pernah berperang satu sama lain. Kesepuluh, negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.

Tantangannya adalah bagaimana mempraktekkan demokrasi, sehingga kelebihan-kelebihan itu bisa terwujud di negeri ini? Nah, pada wilayah ini setiap warga negara dituntut tanggung jawab untuk berdemokrasi dengan benar. Pemilu adalah salah satu sarana untuk itu.

* Penulis adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja

------------------------------------------------------------------------------

Artis dan Bandit di Parlemen
Didik Supriyanto - detikNews

Jakarta - Parlemen akan dikuasai artis dan bandit bila kita nekat menerapkan sistem proporsional terbuka. Modal artis adalah popularitas, modal bandit adalah uang dan kekerasan.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan Kamis (16/10/2008) lalu, menunjukkan, dalam pemilu nanti rakyat Indonesia lebih suka memilih Eko Patrio, pelawak dan pembawa acara, daripada Ferry Mursidan Baldan, anggota DPR yang kecakapan politiknya tidak perlu diragukan lagi.

Mengapa caleg Golkar itu kalah dari caleg PAN? Jawabnya pasti: Ferry kalah populer dari Eko. Dan kita tahu, yang bikin Eko populer adalah televisi.

Sebagai anggota dewan yang mumpuni (misalnya berkali-kali menjadi ketua pansus), Ferry tentu sering muncul di televisi. Namun kemunculannya jelas tidak sesering Eko. Bahkan pelawak ini bisa muncul di dua stasiun televisi untuk dua acara berbeda dalam waktu bersamaan. Belum lagi penampilannya lewat iklan-iklan yang berjibun.

Dalam sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, seperti yang hendak kita terapkan dalam Pemilu 2009 (meski belum terbuka 100%), memungkinkan pemilih untuk memilih langsung nama calon. Oleh karena itu pemilih cenderung akan memilih orang yang dikenali. Di sinilah artis yang sering muncul di televisi mendapatkan keuntungan.

Tentu saja tidak ada salahnya artis menjadi anggota parlemen. Masalahnya adalah bagaimana kinerja mereka yang memasuki atau ganti profesi ini. Saya tidak hendak menjawab pertanyaan ini. Ada puluhan (mantan) artis yang sudah menjadi anggota DPR hasil Pemilu 2004 lalu. Periksa saja satu per satu kinerja politiknya!

Ada satu lagi profesi yang peluang terpilihnya untuk menjadi anggota dewan sangat besar dalam sistem pemilu proporsional terbuka, yakni bandit. Kebanditan tentu menciptakan reputasi tersendiri, sehingga partai enggan mencalonkannya.

Namun dengan uang dan kekerasan, sungguh sulit buat pemimpin partai untuk menghindari untuk tidak mencalonkannya. Apalagi jika pimpinan partai adalah bandit juga. Dengan uang dan kekerasan pula, para bandit bisa memaksa pemilih untuk mencontreng namanya dalam pemilu.

Rusia pernah mengalami situasi politik di mana parlemen (Duma) dikuasai oleh artis dan bandit. Ini menimbulkan kesulitan politik yang luar biasa buat Presiden Yeltsin untuk membuat kebijakan. Beruntung, dalam konstitusi Rusia, Presiden bisa membubarkan parlemen. Bayangkan kalau hal itu terjadi di sini.


*Penulis adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja.

----------------------------------------------------------------------

No comments:

arsip berita